Tempe bukan sekedar Makanan, melainkan Warisan Indonesia (?)

FILOSOFI TEMPE  


"Tempe bukan sekedar makanan, tapi warisan teknologi pangan yang akan menyelamatkan kita dari krisis pangan"

Sebagai pecinta tempe dan penikmat tempe, kali ini saya ingin menuliskan cerita tempe dari prespektif seorang "Amadeus Driando", seorang doktor muda yang besar di keluarga ilmuan pangan. Kini Banyak anak muda yang berlomba-lomba mengembangkan start up di bidang teknologi setelah sebelumnya ada Gojek, Grab dan Tokopedia. Namun lain halnya dengan pemuda kelahiran 1992 ini, Ia menyibuki diri dengan terus berinovasi dan mengembangkan teknologi pangan khususnya tempe.

Mungkin tempe adalah makanan yang sudah biasa kita temui. Siapa sih yang ngga kenal dengan makanan yang kaya protein ini? Bahkan di tahun 2009, Abiburahman El Shirazi telah menggemparkan jagat cinema dengan karya bertajuk "Ketika Cinta Bertasbih" yang mana tokoh utamanya merupakan seorang penjual tempe di Kairo - Mesir. 

Jika banyak makanan luar bisa diterima di Indonesia, lantas seharusnya Indonesia sebagai negara kaya sumber daya pertanian harusnya juga dapat sukses meng-goalkan makanan di manca negara, seperti keju, Spagetti, Pizza.  Bersama Gita Wirjawan seorang Co-founder of Better Nature Ltd. and Indonesian Tempe Movement, Amadeus Driando, atau yang biasa dikenal dengan nama Ando menilik ‘filosofi Tempe’ yang menarik untuk di ikuti.   

Here we Go!

Tidak ada yang tau persis kapan tepatnya, namun tempe pertama kali di dokumentasikan pada tahun 1600-an dalam sebuah serat chentini. Kala itu Pakubuwono ke 4 yang saat itu masih menjadi pangeran, berjalan-jalan ke Desa Bayat, Klaten. Tempat dimana kakek Ando dilahirkan. Tempe saat itu disajikan dalam sambal tumoang atau biasa dikenal lethok.  

Sekitar 400 tahun lalu, tempe merupakan makanan yang dihidangkan untuk tamu kehormatan. Tempe awalnya dibuat menggunakan kacang hitam.  Namun di Wonogiri Tempe memiliki banyak macam diantaranya Tempe kacang koro, tempe kacang mete. Jadi tempe secara sejarah tidak harus dibuat dari kacang kedelai.

Proses pembuatannya di-ibaratkan untuk menyenangkan para bayi jamur tempe supaya tumbuh dewasa dan dapat mengerat bahan bakunya, menjadi lebih begizi, mudah dipotong, dimasak dan tentunya menjadi lebih enak.

Para pengrajin tempe memiliki ragi yaitu inoculum. Bila di zoom menggunakan mikroskop disana terdapat spora jamur tempe (yang paling terkenal Rhizopus). sebenarnya mirip dengan Perancis yang memilki beragam keju, Indonesia juga memiliki keragaman tempe.

Jika ditilik lebih jauh, kala itu ada nenek moyang yang membekal kacang rebus yang dibungkus dengan daun. setelahnya bekal tersebut ditinggal dan 2 hari kemudian dibuka. Mereka kemudian terkejut karena makanan telah berubah, seraya berkata "Apa ini? kenapa jadi padat?". Namun mereka tetap memakannya dan enak, hingga diteruskan sampai saat ini. Ternyata tempe tercipta dari ketidaksengajaan, bukan direncanakan. 
Namun diakui bahwa belum ada dokumen resmi yang menceritakan sejarah tempe.





Jika kita ingin membuat tempe, sama seperti bayi, kita harus tau Bayi jamur suka makanan seperti apa. Ternyata empuk, dan kita kupas kacangnya. Kemudian mau yang mateng? Oke dimasak. Lalu mau ga terlalu panas? yaudah ditiriskan dulu. Terus gamau basah? kita keringkan dulu. Oh setelah dilihat-lihat, kemudian abis makan maunya tidur di kamar tidur? Yaudah kita masukkan ke daun dan dilipat (namun jika bicara industri sekarang, bisa juga pakai plastik). Selanjutnya mau kamar tidur dengan jendela? Oke, plastiknya dilubangi atau jika di daun diberi celah. selanjutnya mau tidur satu setengah hari atau 30-72 Jam dan minta dibangunkan setelahnya. Dan ketika mereka bangun, mereka sudah bahagia dan jadi kuat karena keinginannya terpenuhi. 

Uniknya, tempe adalah makanan nabati satu-satunya yang mengandung B12. Suatu gizi yang penting untuk perkembangan otak, syaraf, pengelihatan, system fungsi tubuh normal jika seseorang tidak mengkonsumsi produk hewani. Terlebih lagi saat sekarang veganism sedang naik daun dan banyak juga involunteri vegan.  Kontaminasi bakteri yang menghasilkan B12 adalah Citrobacter, propionibacter, klebsiella bacter yang sebetulnya berada ditanah. Namun masuk ke tempe melalui perairan, rumput, air sungai maupun tanah. Kontaminasi seperti ini biasanya kurang diterima dalam industry pangan modern yang dituntut harus higienis.

Ando dan tim meneliti sejak tahun 2018. Terus berupaya menjodohkan rhizopus dengan bakteri jamur tempe supaya tempe yang diproduksi terjamin kebersihan dan kandungannya.  Selain itu ada perjodohan lain yang sedang dikerjakan adalah omega 3. Yang juga penting untuk Kesehatan. Bakteri omega 3 ini mirip dengan vitamin B12 namun dia berada di laut. Jadi seperti mikro alga dan dapat dijodohkan dengan Rhizopus. Tempe akan berevolusi dan memiliki nutrisi dan teksturnya seperti seafood alternatif.  Kedepannya perkembangan tempe bisa terinspirasi dari modern maupun tradisional. Ando menceritakan bagaimana dulu Kakeknya jika tidak sanggup membeli tempe kedelai, maka akan memakan tempe gembus. Karena lebih murah dan terbuat dari ampas tahu. Profil nutrisinya tidak kalah namun berbeda. Tapi teksturnya sangat homogen seperti daging sapi. 

Kini kearifan local dan teknologi terkini dapat digabungkan dan menciptakan produk seperti apa yang di inginkan. Sehingga dari informasi kita dapat melihat tempe seperti peternakan di masa depan. Kita tidak butuh binatang dan tentunya jauh lebih cepat dan efisien. Jika dibandingkan dengan daging sapi, tempe konvensional itu proteinnya setara. Energi dan zat besi setara. Serat dan kalsium lebih tinggi. Lemak jenuh dan garam lebih rendah, jika diulas dari segi gizi. Selanjutnya dari lingkungan, jauh lebih ramah tempe. Tempe 4x lipat lebih hemat energi dan 12 x lipat lebih hemat dari produksi GRK.   Dari segi harga terjangkau. Serta penggunaan lahan lebih kecil.  Sehingga lebih sustainable.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Orang yang Tepat, Bukan yang Sempurna (?)

Letting go: